Ruang Lingkup Akhlak dan Cara Menggapainya
Ruang
Lingkup Akhlak
Ruang
lingkup ilmu akhlak adalah pembahasan tentang perbuatan-perbuatan manusia,
kemudian menetapkannya apakah perbuatan itu tergolong baik atau tergolong
buruk. Ilmu Akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam
upaya mengenal tingkah laku manusia, obyek pembahasan ilmu akhlak berkaitan
dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang. Jika kita katakana baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan
adalah ukuran normative.
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia
yang baik maupun yang buruk sebagai individu maupun sosial. Tapi sebagian orang
juga menyebutkan ilmu akhlak adalah tingkah laku manusia, namun perlu
ditegaskan bahwa yang dijadikan obyek kajian ilmu akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya mendarah daging dan telah
dilakukan secara continue atau terus menerus sehingga mentradisi dalam
kehidupannya.
Menurut catatan ‘Akhlak Tasawuf’ yang
ditulis Abuddin Nata, ruang lingkup akhlak terbagi ke dalam beberapa
bagian. Antara lain sebagai berikut.
Akhlak Pribadi
Maksud dari akhlak pribadi adalah bagaimana akhlak
diri kita sendiri. Baik atau buruk perbuatan kita tergantung pada akhlak yang
kita miliki. Akhlak pribadi ini sangat penting, karena seseorang dilihat itu
berdasarkan akhlaknya. Baik atau buruk seseorang dilihat dari akhlaknya.
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada (sahabat nabi) Al
Asaj bin Qais:
“Sungguh di dalam dirimu terdapat 2 sifat yang
dicintai Allah, yakni sabar dan tenang.” (kemudian) sahabat tersebut
berkata, “ Yaa Rasullah, apakah ke 2 sifat tersebut aku yang mengusahakannya,
atau Allah yang memberikannya kepadaku? Beliau menjawab, “Allah
menciptakanmu dalam (sifat) akhlak sabar dan tenang.”
Hal di atas secara jelas menunjukan, akhlak
sabar dan tenang merupakan akhlak pribadi yang baik.
Contoh penerapannya:
Misalkan dalam sebuah situasi tersebar berita (adanya
teroris), namun karena kita bersikap sabar dan tenang. Maka kita tidak akan
panik terhadap berita tersebut, dan akan mencari tau, apakah berita tersebut
benar? atau hanya kabar burung belaka?
Akhlak Keluarga
Maksud dari akhlak keluarga bagaimana sikap seluruh
anggota keluarga baik ayah, ibu ataupun anak dalam kehidupan keluarga. Bentukan
akhlak keluarga yang baik sangat ditentukan oleh ajaran yang dilakukan orang
tua terhadap anaknya. Namun tetap, akhlak dalam berkeluarga patokannya adalah
akhlak pribadi. Bagaimana akhlak keluarga bisa baik namun akhak pribadi sendiri
tidak baik.
Contoh penerapannya:
Seseorang dengan akhlak baik, pastilah akan
menghormati kedua orang tuanya. Terlepas dari keadaan yang terjadi saat itu.
Allah SWT berfirman, “dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulillah keduanya di dunia
dengan baik … “ ( Al Qur’an: Surah Luqman (31) : 15 )
Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kita
untuk tetap berlaku baik kepada kedua orang tua. Walaupun kala itu mereka
mengajak kita untuk menyekutukan Allah, tapi kita dilarang untuk berbuat kasar
dan jahat kepada mereka.
Akhlak Masyarakat
Akhlak masyarakat mencakup bagaimana akhlak kita dalam
menjalani hidup bermasayarakat dengan orang lain. Masyarakat ini pun mencakup
akhlak dengan tetangga sekitar kita. Penting sekali kita memiliki akhlak yang
baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini sesuai dengan sabda nabi SAW, dimana (sahabat)
Jabir meriwayatkan,
“Rasullah SAW bersabda, Orang beriman itu bersifat
ramah, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersikap ramah, dan
sebaik-baik kalian (manusia) adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lainnya.”
Hadist shahih, dan terkandung didalam kitab Ash
Shahihah karangan Syaikh Al Albani. Hadist di atas menunjukan
bahwa, tidaklah baik iman seseorang sebelum dia bersikap (baik) ramah kepada
tetangga, dan lingkungannya.
Akhlak Negara
Akhlak negara mencakup bagaimana
akhlak kita terhadap negara. Misalnya dengan mentaati seluruh kebijakan yang
pemeritah keluarkan dan menjadi warga yang baik merupakan salah satu akhlak terhadap negara.
Akhlak Agama
Manusia mempunyai kewajiban moral kepada Tuhan. Oleh
karena itu, kita harus memiliki akhlak yang bagus kepada Tuhan. Dalam konteks
ini, kita harus mentaati segala perintah Tuhan dan menjauhi segala laranganNya.
Semua hal tersebut sudah tercantum dalam agama.
Cara Menggapai dan Memiliki Akhlak Mulia
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para
pengikutnya, segenap sahabatnya dan orang-orang yang setia kepadanya.Amma
ba’du.
Sesungguhnya
kemuliaan akhlak itu terwujud dengan memberikan apa yang dipunyai kepada orang
lain, menahan diri sehingga tidak menyakiti, dan menghadapi gangguan atau
tekanan dengan penuh kesabaran. Hal itu akan bisa digapai dengan membersihkan
jiwa dari sifat-sifat rendah lagi tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat
terpuji. Simpul kemuliaan akhlak itu adalah: kamu tetap menyambung hubungan
dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada
orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain
yang menzalimi dirimu.
Akhlak
yang mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan
perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan kemuliaan akhlak seorang akan memperoleh
ketinggian derajat. Dengan sebab kemuliaan akhlak pula berbagai problema akan
menjadi mudah, aib-aib akan tertutupi dan hati manusia akan tunduk dan menyukai
sang pemilik akhlak yang mulia ini. Dengan akhlak yang mulia juga, seorang akan
terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain. Dia pandai menunaikan
kewajibannya dan melengkapinya dengan hal-hal yang disunnahkan. Sebagaimana ia
akan terjauhkan dari akibat buruk sikap tergesa-gesa dan serampangan. Dengan
akhlak yang mulia pikiran akan tenteram dan kehidupan terasa nikmat.
Tidak
diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan
orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan
mustahil dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh
manusia untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan
tersebut adalah:
1. Memiliki
Aqidah yang Selamat
Aqidah adalah urusan
yang sangat agung dan mulia. Perilaku merupakan hasil dari pikiran dan
keyakinan di dalam jiwa. Penyimpangan perilaku biasanya muncul akibat
penyimpangan aqidah. Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling sempurna
keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Apabila aqidah seseorang baik
maka akan baik pula akhlaknya. Sehingga aqidah yang benar akan menuntun
pemiliknya untuk bisa memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur,
dermawan, lemah lembut, berani, dan lain sebagainya. Sebagaimana kemuliaan
akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan perilaku-perilaku yang
jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan, dan lain
sebagainya.
2. Senantiasa
Berdoa Memohon Akhlak Mulia
Doa merupakan pintu
(kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan untuk seorang
hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan keberkahan akan
tercurah kepadanya. Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan
terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada
Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh
ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya
akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya. Oleh karena
itulah Nabi ‘alaihish shalatu
was salam adalah orang yang
sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau
kemuliaan akhlak. Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah, “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada
akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali
Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa
menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771). Salah satu doa yang
beliau ucapkan juga, “Ya Allah,
jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan
penyakit.” (HR. Al Hakim
[1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi). Beliau juga
berdoa, “Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat
pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan
kematian.” (HR. Bukhari
[7/159] dan Muslim [2706]).
3.
Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri
Kesungguh-sungguhan
akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini. Sebab kemuliaan
akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan jalan
bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya, “Orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan
menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang
berbuat baik.”(QS. Al ‘Ankabut: 69). Barangsiapa yang bersungguh-sungguh
menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan,
serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia
akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya
kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang
dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya. Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali,
namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Rabbmu hingga datang
kematian kepadamu.” (QS. Al
Hijr: 99).
4.
Introspeksi/Muhasabah
Yakni dengan cara
mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri agar
tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu. Namun
hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan
menimbulkan patah semangat.
5.
Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia
Sesungguhnya
memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan memunculkan
motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka setiap kali
hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat
dampak positif tersebut. Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari
kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke
jalur ketaatan dengan lapang. Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan
akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga
dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa
mudah baginya untuk menggapainya.
6. Memikirkan
Dampak Buruk Akhlak yang Jelek
Yaitu dengan
memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek
berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak
senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong
untuk mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang
mulia.
7. Tidak
Putus Asa untuk Memperbaiki Diri
Sebagian orang yang
berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin untuk diperbaiki
dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali atau beberapa
kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia pun berputus
asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya. Sikap
semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh
barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas
tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan
sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat
tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh
dalam mengikis aib-aib dirinya. Betapa banyak orang yang berhasil berubah
keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang
akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan
tabiat buruknya.
8. Memiliki
Cita-Cita yang Tinggi
Cita-cita tinggi akan
melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak mau tercecer di
barisan orang-orang yang rendah dan hina. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memiliki
cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan maka dia telah memiliki
(sumber) segala akhlak mulia. Sedangkan orang yang rendah cita-citanya dan hawa
nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat dengan
setiap akhlak yang rendah dan tercela.” Jiwa-jiwa
yang mulia tidak merasa ridha kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia,
tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai
perkara-perkara yang rendah dan kotor sebagaimana halnya seekor lalat yang
senang hinggap di barang-barang yang kotor. Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan
merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri, demikian pula
tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada
harus melakukan itu semua. Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki
karakter yang bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.
9. Bersabar
Sabar merupakan
fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan ketabahan, menahan
amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak tergesa-gesa, dan tidak suka
bersikap kasar.
10. Menjaga Kehormatan/Iffah
Sifat ini akan membawa pelakunya untuk senantiasa
menjauhi perkara-perkara yang rendah dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun
perbuatan. Dia akan memiliki rasa malu yang itu merupakan sumber segala
kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari melakukan perbuatan keji, bakhil, dusta,
ghibah maupun namimah/adu domba.
11. Keberanian
Hal ini akan membawa pelakunya untuk memiliki jiwa
yang tangguh dan mulia. Selain itu keberanian akan menuntun untuk senantiasa
mengutamakan akhlak mulia, berusaha untuk mengerahkan kebaikan yang bisa
dilakukannya dalam rangka memberikan manfaat kepada orang lain. Keberanian juga
akan menggembleng jiwa untuk rela meninggalkan sesuatu yang disukai dan
menyingkirkannya. Keberanian akan menuntun kepada sifat suka menahan amarah dan
berlaku lembut.
12. Bersikap Adil
Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku.
Tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan
yang berada di antara sikap boros dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah
hati) yang berada di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan
melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan.
Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah
dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.
13. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu
kepada saudaramu (sesama muslim) adalah sedekah untukmu.” (HR.
Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah: 272). Beliau juga
bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun
hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR.
Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang
yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan
baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran
positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi
segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila
menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia
mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah
lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.
14. Mudah Memaafkan
Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang
lain merupakan akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan
melestarikan rasa cinta dan kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang
akan bisa memadamkan api permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi
pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.
15. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah
Hilm atau tidak suka marah
merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan
terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan
mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah
kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan
bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak
pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia
bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.
16. Meninggalkan Orang-Orang Bodoh
Berpaling dari tindakan orang-orang jahil akan
menyelamatkan harga diri dan menjaga kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang
dan telinganya akan terbebas dari mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf,
perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS.
Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi kejelekan adalah
bagian dari upaya untuk mencari kebaikan.”
17. Tidak Suka Mencela
Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan
ketinggian cita-citanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang
bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat menanggung hal-hal yang
tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup menghadapi hal-hal yang
memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul
Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu sahur,
suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang
pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang
lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung
tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”.
Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun merasa geram terhadap sang
lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya
kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa aku bukan orang gila.”
18. Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita
Orang yang suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini
merupakan bukti kemuliaan pribadi dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada
orang yang mencaci maki Al Ahnaf bin Qais berulang-ulang namun sama sekali
tidak digubris olehnya. Maka si pencela mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang
menghalanginya untuk membalas celaanku selain kehinaan diriku dalam
pandangannya.”
19. Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti
Dirinya
Yaitu dengan cara anda melupakan orang lain yang
pernah melakukan perbuatan buruk kepada anda. Agar hati anda menjadi bersih dan
tidak gelisah karena ulahnya. Orang yang terus mengingat-ingat perbuatan jelek
saudaranya kepada dirinya maka kecintaan dirinya kepada saudaranya tidak akan
bisa bersih (dari kepentingan dunia). Orang yang senantiasa mengenang kejelekan
orang lain kepada dirinya niscaya tidak akan bisa merasakan kenikmatan hidup
bersama mereka.
20. Mudah Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan
Dengan Kebaikan
Hal ini merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang
tinggi dan derajat yang mulia. Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan
hati, manisnya iman, dan kemuliaan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidaklah Allah akan menambahkan kepada
seorang hamba dengan sifat pemaaf yang dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR.
Muslim). Ibnul Qayyim menceritakan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa
memadukan sifat-sifat ini -berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik
kepada orang lain- daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah
menyucikan ruhnya- ketika itu sebagian para sahabatnya yang senior mengatakan,
‘Aku sangat ingin bersikap kepada para sahabatku sebagaimana beliau bersikap
kepada musuh-musuhnya.’ Aku tidak pernah melihat beliau mendoakan kejelekan
kepada salah seorang di antara musuhnya itu. Bahkan beliau biasa mendoakan
kebaikan bagi mereka.” [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al
Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]
Daftar
Pustaka :
https://muslim.or.id/348-kiat-menggapai-akhlak-mulia-1.html
Komentar
Posting Komentar