GAMBARAN BEBAN KERJA TENAGA TEKNIK KEFARMASIAN DAN WAKTU EFEKTIF PELAYANAN KEFARMASIAN DI INSTALASI RUMAH SAKIT
MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT
GAMBARAN
BEBAN KERJA TENAGA TEKNIK KEFARMASIAN DAN WAKTU EFEKTIF PELAYANAN KEFARMASIAN
DI INSTALASI RUMAH SAKIT

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Rahmah Syafitri Handayani 1041711109
Reisa Elvarettta 1041711111
Rizki Putri
Maharani 1041711116
Sabila Noor Sa’adah
A. A. 1041711119
Safira
1041711120
Safitri Norvita
Sari 1041711121
Sania Nabila 1041711125
Shally Nastiti
Widya A. 1041711128
Shifa Kurnia Putri
S. 1041711130
Sindi Artiega
Perwiradityas 1041711163
PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILAMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2020
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya kesehatan merupakan semua aktivitas yang
ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga akan mewujudkan
derajat kesehatan yang baik dan optimal kepada masyarakat. Ketersediaan sumber
daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan yang memiliki kemampuan dan kualitas
yang tinggi, professional sesuai dengan tugas serta fungsinya merupakan
indikator keberhasilan pengelolaan farmasi yang efektif dan efisien di rumah
sakit. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah resep yang dilayani di
farmasi namun peningkatan pelayanan resep ini tidak diimbangi dengan penambahan
jumlah tenaga sehingga terjadi peningkatan beban kerja di farmasi. Peningkatan
beban kerja ini membuat waktu tunggu obat jadi menjadi lebih lama dari
indikator mutu yang ditetapkan oleh rumah sakit sehingga komplain
pasien terhadap pelayanan farmasi meningkat.
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan
yang turut berperan pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Keberhasilan
rumah sakit dalam menjalankan fungsinya di pengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yang paling dominan adalah sumber daya manusia. Kegiatan farmasi
klinik di Indonesia masih sedikit dilakukan karena terdapat kendala antara lain
kurangnya pengetahuan teknis, kurangnya kemampuan berkomunikasi, tekanan
kelompok kerja/ketidaknyamanan kerja, kurangnya motivasi dan keinginan untuk
berubah, kurang percaya diri, dan kurang pelatihan dalam arus kerja yang
sesuai, peningkatan persepsi tentang tanggung jawab kurangnya staf di Instalasi
Farmasi (Rikomah, 2016).
Kualitas pelayanan tersebut akan berdampak pada
keselamatan pasien akibat kelalaian pegawai pada saat proses pelayanan
berlangsung. Salah satu bentuk faktor kesalahan medis yang sering terjadi
adalah kesalahan dalam pengobatan mulai dari proses hingga penggunaan obat pada
dosis dan medikasi yang diberikan serta beberapa kesalahan juga terjadi pada
bentuk obat yang salah pada saat peresepan, membaca resep, kesalahan dalam
meracik, dan kesalahan saat penyerahan (Badriah, 2015).
Salah satu faktor utama dalam penyebab kesalahan
medis menurut Agency for Health Care and Research and Quality adalah sumber
daya manusia (SDM) yang menjadi permasalahan meliputi kegagalan petugas dalam
memenuhi standar pelayanan medis, kebijakan, dan prosedur. Staf atau
pola kerja di suatu organisasi juga dapat menyebabkan kesalahan ketika petugas
kesehatan terlalu sibuk karena staff yang tidak memadai jauh lebih mungkin
untuk melakukan kesalahan (Badriah, 2015).
Beban kerja di dasarkan pemanfaatan waktu kerja yang
tersedia untuk melakukan serangkaian pekerjaan. Beban kerja dapat dilihat dari
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan staff pada waktu kerja baik kegiatan
langsung, kegiatan tidak langsung, dan kegiatan lain seperti kegiatan pribadi
dan kegiatan tidak produktif (Karina, 2012).
Menurut Ilyas (2011) pada kenyataannya tidak mungkin
bagi kita untuk mengharapkan personel bekerja secara maksimum (100%), oleh
karena itu dibutuhkan standar optimum nasional yang dapat digunakan sebagai
parameter dalam menentukan tingkat beban kerja personel. Standar titik optimum
yang digunakan untuk mengharapkan setiap personel dapat bekerja secara optimal
adalah dengan besar waktu kegiatan pada proporsi 80% (Ilyas, 2011).
Dari data kepegawaian disebutkan bahwa tenaga
farmasi tahun 2016 sebanyak 22 tenaga yang terdiri dari 1 apoteker, 19 asisten
apoteker dan 2 petugas di gudang farmasi. Dengan jumlah resep yang dilayani
sebanyak 83.868 resep ditahun 2016. Pada tahun 2017 dengan peningkatan jumlah
resep menjadi 84.291 dilayani oleh 22 orang petugas farmasi yang terdiri dari 2
apoteker, 19 asisten apoteker dan 1 petugas gudang farmasi 3 .
Data dari Humas Marketing menyebutkan
bahwa pada tahun 2016 terjadi 74 komplain pasien,
dimana 43 komplain terkait dengan farmasi (58,10%) dan tahun 2017 sebanyak 46
komplain pasien dimana 21 komplain terkait dengan farmasi (45,65%).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan
beberapa petugas farmasi menyebutkan bahwa pelayanan farmasi
rawat jalan masih lama dikarenakan ketidakseimbangan antara jumlah resep yang
dilayani dengan jumlah petugas. Sedangkan wawancara yang dilakukan pada
beberapa pasien di poliklinik rawat jalan menyebutkan bahwa waktu tunggu obat
jadi masih lama sehingga menyebabkan bebebrapa pasien menjadi tidak puas dan
akhirnya mengajukan komplain ke bagian Humas Marketing rumah sakit.
1.2 Tujuan Makalah
Diketahuinya gambaran beban kerja dengan waktu kerja tiap
tenaga teknis kefarmasian dan kebutuhan tenaga di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
agar dapat memberikan pelayanan kefarmasian secara efektif dan efisien.
1.3 Manfaat Makalah
1. Dapat digunakan untuk menghitung jumlah tenaga farmasi
berdasarkan beban kerja dan sesuai waktu kerja efektif.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan RS khususnya pelayanan
kefarmasian di Instalasi Rumah Sakit.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Ruang
lingkup permasalahan berada di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
BAB
II
ISI
2.1 Sumber Daya Manusia
Suatu bangsa dapat dikatakan berhasil dalam
pembangunannya apabila memiliki dua buah aset, yaitu sumber daya manusia dan
sumber daya alam. Bila dibandingkan antara kedua aset tersebut, maka sumber
daya manusia merupakan aset yang paling penting. Beberapa pandangan Ilyas
(2004) tentang peran sumber daya manusia yang sangat sentral dalam perkembangan
suatu organisasi, antara lain : SDM adalah komponen kritis dimana tingkat
manfaat sumber daya lainnya tergantung dari bagaimana kita memanfaatkan SDM,
SDM merupakan kunci yang sangat penting untuk keberhasilan dan kemajuan suatu
organisasi, kebutuhan akan SDM yang handal dan berkualitas tidak bisa diperoleh
seketika, kita tidak dapat menyimpan SDM yang kita butuhkan sekarang untuk
kebutuhan di masa yang akan datang, serta SDM dapat usang bila pengetahuan dan
keterampilannya tidak berkembang (Ilyas, 2004).
2.2 Sumber
Daya Manusia Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Menurut Kepmenkes RI Nomor
33/MENKES/SK/I/2015 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan menyatakan bahwa SDM Kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara
aktif di bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun
tidak, untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
(Depkes, 2015). Ada dua macam sumber daya yang sangat berperan dalam pelayanan
serta pengendalian transaksi obat dan alat kesehatan yaitu meliputi sumber daya
manusia dan sumber daya teknologi. Faktor pelayanan menempatkan sumber daya
manusia sebagai unsur penting di dalamnya. Kinerja para karyawan menentukan
tingkat kepuasan pasien akan pelayanan yang diberikan (Darmayanti, 2016).
2.3 Perencanaan Sumber Daya Manusia
·
Definisi
Perencanaan
Sumber Daya Manusia
Mondy
dan Noe (1995) mendefenisikan perencanaan SDM sebagai proses yang secara
sistematis mengkaji keadaan sumber daya manusia untuk memastikan bahwa jenis,
jumlah dan kualitas dengan keterampilan yang tepat, akan tersedia pada saat
mereka dibutuhkan.
Menurut
Ilyas (2011) suatu rumah sakit dapat dikatakan efektif dan efisien apabila
dalam rumah sakit tersebut tersedia sumber daya manusia yang cukup dengan
kualitas yang tinggi dan profesional serta sesuai dengan tugas dan fungsi dari
personel/pegawai.
·
Tujuan Perencanaan Sumber Daya Manusia
Perencanaan
sumber daya manusia dapat memenuhi banyak tujuan organisasi, menurut Thomas H
Stone (1989) terdapat dua tujuan pokok dari tujuan suatu perencanaan yaitu :
a.
Membantu menentukan tujuan organisasi
termasuk perencanaan pencatatan kesempatan kerja yang sama pada karyawan dan
tujuan tindakan afirmatif.
b.
Melihat pengaruh program dan kebijakan
alternatif sumber daya manusia dan menyarankan pelaksanaan alternatif yang
paling menunjang kepada keefektifan organisasi.
·
Perencanaan Sumber Daya Manusia di Rumah
Sakit
Perencanaan
sumber daya manusia rumah sakit seharusnya berdasarkan fungsi dan beban kerja
pelayanan kesehatan yang akan dihadapi di masa depan, yang dimaksudkan agar fungsi
rumah sakit dapat berjalan dengan baik. Rumah sakit memerlukan perencanaan SDM,
karena rumah sakit harus mengkoordinasikan kegiatannya, memastikan bahwa masa
depan telah diperhitungkan. Rumah sakit perlu melakukan perencanaan SDM, jika:
rumah sakit ingin mengubah pelayanan dan fasilitas rumah sakit, ingin mengubah
jumlah tempat tidur, terdapat gejala penurunan motivasi, prestasi, dan kepuasan
kerja, dan jika terdapat keluhan pasien terhadap kualitas pelayanan (Herwina,
2016).
2.4 Analisis
Beban Kerja
Beban kerja adalah jumlah unit kerja yang ditugaskan
pada suatu sumber daya dalam periode waktu tertentu. Menurut Kepmenkes Nomor
81/MENKES/I/2004, beban kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh tenaga kesehatan profesional dalam satu tahun dalam satu
sarana pelayanan kesehatan (Karina, 2012).
Analisa Beban Kerja adalah upaya menghitung beban
kerja pada satuan kerja dengan cara menjumlah semua beban kerja dan selanjutnya
membagi dengan kapasitas kerja perorangan persatuan waktu. Beban kerja dapat
dilihat dari kegiatan langsung, kegiatan tidak langsung, dan kegiatan lain
seperti kegiatan pribadi dan kegiatan yang tidak produktif (Ilyas, 2011).
Standar asumsi yang digunakan adalah 0-35%
diasumsikan beban kerja rendah, 35-75% diasumsikan beban kerja sedang,
sementara 80-100% diasumsikan beban kerja tinggi. Diatas 100% diasumsikan beban
kerja sangat tinggi sehingga dibutuhkan adanya suatu usaha seperti penambahan
waktu kerja (lembur) atau penambahan jumlah karyawan (Darmayanti, 2016).
Dalam perhitungan beban kerja ada tiga cara yang
dapat digunakan, diantaranya adalah (Ilyas, 2011) :
1.
Work Sampling
2.
Time and Motion Study
3.
Daily Log
2.4.1
Work Sampling
Work sampling adalah teknik pembuatan serangkaian
pengamatan pada interval yang acak, berdasarkan prinsip statistika bahwa
informasi yang dilakukan secara acak sama lengkapnya dengan informasi yang
diberikan dengan pengamatan secara kontinyu (Liebler, dkk).
Pada work sampling, yang diamati adalah apa yang
dilakukan oleh responden dimana informasi yang dibutuhkan oleh peneliti disini
adalah jumlah tenaga yang ada serta waktu dengan kesan yang dilakukan oleh
personel pada kegiatannya, bukan siapanya. Hal yang penting adalah apa yang
dikerjakan oleh personel, dimana setiap kegiatan yang dilakukan oleh personel
akan dilakukan pengamatan dari kejauhan. Pada teknik work sampling kita dapat
mengamati halhal yang spesifik tentang pekerjaan seperti aktivitas apa yang
sedang dilakukan personel pada waktu jam kerja, apakah aktivitas personel
berkaitan dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja, proporsi waktu kerja
yang digunakan untuk kegiatan
produktif atau tidak produktif serta pola beban kerja personel dikaitkan dengan
waktu dan jadwal jam kerja (Ilyas, 2011).
Work sampling adalah pengukuran kegiatan kerja dari
karyawan dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan dimana jumlah sampel
pengamatan kegiatan dilakukan secara acak. Pada metode ini yang menjadi fokus
pengamatan adalah apa yang dilakukan responden pada waktu tertentu dan apa
kegiatannya. Barnes (1980) dalam Ilyas (2011) tiga kegunaan utama dari work
sampling :
1.
Activity and Delay Sampling
Mengukur proporsi
kegiatan aktifitas dan tidak melakukan aktifitas seorang pegawai.
2.
Performance Sampling
Mengukur waktu yang
digunakan untuk bekerja dan waktu yang tidak digunakan untuk bekerja seorang
pegawai berdasarkan uraian tugasnya dan dapat sekaligus untuk mengukur
produktivitasnya.
3.
Work Measurement
Menetapkan standar
waktu dari suatu kegiatan.
Hal-hal yang dapat
diamati dengan work sampling adalah :
a. Aktivitas apa yang
sedang dilakukan pegawai pada waktu jam kerja
b.
Apakah aktivitas pegawai berkaitan dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam
kerja
c.
Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif
d. Pola beban kerja
pegawai dikaitkan dengan waktu, jadwal jam kerja
Menurut
Ilyas (2011) terdapat beberapa tahapan dalam melakukan teknik work sampling.
Pertama, kita harus menentukan jenis personel yang ingin kita teliti. Kedua, bila personel berjumlah
banyak maka harus dilakukan pemilihan sampel. Pada tahap ini dapat digunakan
metode simple random sampling untuk mendapatkan populasi sampel. Ketiga,
membuat formulir daftar kegiatan personel yang dapat diklasifikasikan sebagai
kegiatan produktif dan kegiatan non produktif atau dapat pula dikelompokkan
menjadi kegiatan langsung maupun kegiatan tidak langsung. Keempat, melatih
pelaksana Peneliti tentang cara pengamatan kerja dengan menggunakan teknik work
sampling. Kelima, dilakukannya pengamatan kegiatan dengan interval 2-15 menit
tergantung karakteristik pekerjaan. Pengamatan dilakukan selama jam kerja, jika
unit kerja berfungsi selama 24 jam maka penelitian juga dilakukan selama 24 jam
dan pengamatan dapat dilakukan selama seminggu (7 hari) (Ilyas, 2011).
Dalam
teknik work sampling kelompok pekerja di observasi di waktu tertentu dan
kegiatan per-individu dicatat. Setelah satu atau dua minggu, rata-rata waktu
untuk setiap aktivitas dihitung sehingga rata-rata waktu tiap kegiatan dapat
ditentukan. Melalui pengamatan ini kita mengetahui waktu kerja sebenarnya yang
digunakan untuk kelompok kegiatan selama beberapa hari (Ilyas, 2011).
Adapun kelebihan dan
kekurangan dari metode work sampling adalah sebagai berikut :
Kelebihan dari metode
work Sampling :
A.
Pengamatan tidak perlu mengamati pekerjaan terus-menerus, sehingga secara
teknis mudah dikerjakan dan bagi pegawai yang menjadi objek merasa tidak
diamati.
B.
Pengamat dapat mengamati beberapa orang pegawai sekaligus.
C.
Tidak diperlukan pengamat profesional yang terlatih karena yang diamati hanya
jenis kegiatannya.
D.
Pengamatan dapat dihentikan kapan saja tanpa berdampak buruk terhadap hasil
penelitian.
E.
Lebih menyenangkan bagi pengamat dibandingkan dengan metode time motion study.
F.
Pengamat jarang merasa bosan dan kelelahan
Kekurangan dari metode
work sampling :
a.
Tidak memberikan informasi yang lengkap dan terperinci detail kegiatan tenaga
yang diamati.
b. Data yang didapat
bisa terjadi bias karena pegawai tahu akan diamati.
2.4.2 Time and Motion
Study
Metode
Time and motion study, pengamat melakukan pengamatan dan mengikuti dengan
cermat tentang kegiatan yang dilakukan oleh pegawai yang sedang diamati. Teknik
ini tidak hanya menghasilkan berupa beban kerja tapi juga kualitas kerja
pegawai (Ilyas, 2011).
Pada
metode ini dilakukan pengamatan secara terus-menerus sampai pekerjaan selesai
dan sampai selesainya jam kerja pada hari itu. Pengamatan dilakukan terhadap
setiap jenis tugas yang dilakukan dan lamanya waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikannya. Kegiatan ini dilakukan pengulangan pada keesokan harinya. Time
and motion study sulit dilakukan, berat, dan mahal sehingga jarang dilakukan.
2.4.3
Daily Log
Daily
log merupakan bentuk sederhana dari work sampling, dimana orang yang diteliti
menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk penelitian tersebut.
Penggunaan teknik ini sangat bergantung terhadap kerjasama dan kejujuran dari
pegawai yang sedang diteliti. Pelaksanaan teknik ini menggunakan formulir isian sederhana
mengenai kegiatan, waktu dan lamanya kegiatan. Sebelum dilakukan penelitian,
peneliti harus memberikan penjelasan dan penekanan bahwa informasi mengenai
pegawai tidak akan tercantum pada laporan penelitian (Ilyas, 2011).
2.5 Rumah
Sakit
2.5.1
Definisi Rumah Sakit
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 72 tahun 2016, Rumah Sakit
merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan rawat gawat darurat. Rumah sakit sebagai organisasi badan
usaha di bidang kesehatan mempunyai peran penting dalam mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat secara optimal (Rikomah, 2017).
Menurut
WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu
organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna
(komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pencegahan penyakit
(preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi
tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.
2.5.2
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Tugas
rumah sakit adalah melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna
dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan
upaya rujukan (Rikomah, 2017).
Menurut
Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, fungsi rumah sakit adalah
:
1.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
2.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis.
3.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan
kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Rikomah, 2017).
2.6
Farmasi
2.6.1 Pelayanan
Farmasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No 72 Tahun 2016, Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(Depkes, 2016).
Pelayanan kefarmasian di rawat jalan
meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan
aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat dan
konseling, sedangkan pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat, pemberian informasi
obat, konseling, edukasi, dan visite. Pelayanan kefarmasian selain rawat inap
dan rawat jalan adalah unit logistik medik/distribusi, unit produksi
steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi obat dan lain-lain
(Irmawati, 2014).
2.6.2 Jenis Tenaga di Instalasi Farmasi
Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk
dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana yang di jelaskan dalam
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terdiri atas Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan,
kualifikasi SDM Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari :
1)
Apoteker
2)
Tenaga Teknis Kefarmasian
b.
Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari :
1)
Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian
2)
Tenaga Administrasi
3)
Pekarya/Pembantu pelaksana (Depkes, 2016).
2.6.2.1 Apoteker
Peran dan tanggung jawab apoteker terus
berkembang dari tahun ke tahun, dari pengelolaan obat sebagai komoditi (drug
oriented) menjadi pelayanan yang komprehensif yang berorientasi kepada pasien
(patient oriented). Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi dibutuhkan
tenaga apoteker yang profesional. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai apoteker dan telah mengucap sumpah jabatan apoteker (Thoe, 2013).
Perhitungan kebutuhan Apoteker
berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite.
Idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.
Pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial
dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan
obat, pencatatan penggunaan obat (PPP) dan konseling idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien (Depkes, 2016).
2.6.2.2 Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga
yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi (Depkes, 2016).
Dalam penelitian Karina (2012) tenaga
teknis kefarmasian memiliki dua fungsi yaitu tugas fungsional dan tugas
administrasi yang dikerjakan di bawah pengawasan apoteker. Berikut
penjabarannya :
1.
Tugas Fungsional
a. Memberikan pelayanan resep baik rawat
jalan dan rawat inap meliputi penerimaan resep, penghargaan, pelabelan,
peracikan obat, penyerahan sampai pengemasan, dan memberikan edukasi kepada
pasien tentang cara pemakaian obat.
b. Menjaga komunikasi dengan perawat dan
dokter
c. Mengatur perbekalan farmasi
d. Melayani return obat dari ruang
perawatan
e. Menginformasikan stok obat harian
2.
Tugas Administrasi
a. Mencatat segala sesuatu di dalam buku
operan jika melakukan perpindahan kerja
b. Pencatatan stok obat dan bahan habis
pakai di dalam buku permintaan barang gudang
c. Mencatat pengeluaran obat dan BHP
d. Mencatat pengembalian dan pembelian
obat/BHP (Karina, 2012).
2.6.2.3 Administrasi Farmasi
Berdasarkan Permenkes 72 Tahun 2016,
Tenaga Administrasi termasuk dalam pekerjaan penunjang. Di Rumah Sakit USU,
salah satu fungsi kerja dari administrasi adalah melakukan verifikasi resep
rawat inap dan rawat jalan, merekap data pemakaian obat dan BMHP tiap ruangan
serta pekerjaan lainnya.
2.7 Karakteristik
Individu/Pegawai
Berdasarkan
karakteristik pegawai, kesesuaian beban kerja dapat di analisis melalui faktor
jenis tenaga, yang dapat dihubungkan dengan umur, pendidikan, jenis kelamin dan
variabelnya, tergantung pada tujuan dan kebutuhan penelitian (Ilyas, 2011).
Berdasarkan
jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam
kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetiti,
motivasi, sosiobilitas, atau kemampuan belajar, namun studistudi psikologi
telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, sedangkan
pria lebih agresif (Beta, 2015).
Usia
adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai dengan berulangtahun.
Semakin cukup usia, tingkat kematangan, dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih
dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai
pengalaman dan kematangan jiwa (Lasut, 2017).
Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan mempengaruhi pola pikir yang
nantinya berdampak pada tingkat kepuasan kerja. Pendapat lain juga menyebutkan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka tuntutantuntutan akan aspek-aspek
kepuasan kerja di tempat kerjanya akan semakin meningkat (Kenneth, W and
Gary,Y, 2005).
Masa
kerja juga merupakan komponen yang paling penting dalam menjelaskan tingkat
pengunduran diri karyawan. Semakin lama karyawan bekerja dalam suatu perusahaan
semakin kecil kemungkinan karyawan tersebut akan mengundurkan diri (Lasut,
2017).
2.8 Waktu
Kerja
Waktu merupakan faktor utama dalam
pencapaian organisasi, semakin tinggi tingkat ketepatan waktu dan semakin
tinggi tingkat penggunaan waktu maka semakin berhasil suatu organisasi dalam
menjalankan fungsinya. Ruang lingkup waktu kerja menurut Ilyas(2004) dalam
Nurutami (2009) adalah :
a.
Waktu Produktif Waktu produktif terbagi menjadi dua :
1. Waktu kerja dasar, yaitu waktu kerja
minimal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi yang secara teori diperlukan untuk
menghasilkan suatu kegiatan.
2. Waktu kerja tambahan, adalah waktu
kerja yang bertambah atau melebihi waktu kerja dasar. Waktu kerja dapat
bertambah karena cara kerja yang tidak efisien, kelemahan metode, tidak adanya
prosedur, dan lain-lain.
b. Waktu Tidak Produktif
Waktu kerja yang
terbuang, yang menyebabkan terhentinya suatu proses atau operasional kegiatan
sehingga akan mengurangi produktivitas.
Menurut Ilyas
(2004) aktivitas SDM kesehatan dalam penggunaan waktu kerjanya dapat diamati
dan dibedakan atas empat macam jenis kegiatan, yaitu :
a. Kegiatan
langsung adalah kegiatan yang dilakukan berkaitan langsung dengan
pasien/konsumen, disini dicantumkan semua kegiatan yang mungkin dilakukan oleh
tenaga tersebut.
b. Kegiatan
tidak langsung adalah kegiatan yang dilakukan tidak langsung terhadap
pasien/konsumen.
c. Kegiatan
pribadi kegiatan untuk kegiatan pribadinya.
d. Kegiatan non
produktif adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh tenaga tersebut yang
tidak bermanfaat terhadap pasien/konsumen kepada unit satuan kerjanya maupun
kepada organisasinya.
Menurut
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1 tentang Ketenagakerjaan, setiap
pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari
dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor
usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi
waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Pada pasal 79 ayat 1,
pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam
kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari dalam seminggu, dan cuti tahunan
sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja
selama 12 bulan secara terus menerus (Julia, 2017).
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami terkait beban
kerja pegawai atau tenaga medis setiap Instalasi Rumah Sakit wajib menerapkan
1.
Permenkes
No.80 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga
Kesehatan untuk kualifikasi pendidikan tenaga teknis kefarmasian harus memiliki
kualifikasi minimum Diploma III (D3) kefarmasian dan Permenkes 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yaitu Apoteker merupakan sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian
merupakan Sarjana Farmasi dan Ahli Madya Farmasi. Administrasi Farmasi termasuk
pekerjaan penunjang yang uraian kerjanya lebih bersifat manajerial sehingga
dapat dilakukan oleh S1 segala jurusan.
2.
Berdasarkan
waktu kerja pegawai bagian pelayanan, waktu kerja tenaga teknis kefarmasian wajib menerapkan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dengan total waktu kerja 170jam/minggu.
3.
Berdasarkan aktivitas tenaga kerja di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, kegiatan produktif harus memperhatikan berapa
waktu yang dihabiskan antara lain:
·
Kegiatan
produktif langsung dan kegiatan produktif tidak langsung.
·
Kegiatan non
produktif
·
Kegiatan pribadi
4.
Beban kerja di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan persentase kegiatan produktif dapat diperhatikan
dari tinjauan per-shift.
DAFTAR
PUSTAKA
Ronggonundarmo, Bagus dkk., 2019. Analisis Kebutuhan Tenaga Berdasarkan Beban Kerja
Sebagai Dasar Perencanaan SDM Di Instalasi Farmasi RS. X Semarang. Jurnal Manajemen
Kesehatan Indonesia Vol. 7 No. 3.
Nugrahayati, Savitri. 2018. Gambaran Beban Kerja Bagian
Pelayanan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Universitas Sumatra Utara. Skripsi
USU. Sumatra Utara.
Verawaty
dkk. 2017. Analisi Kebutuhan Tenaga
Kefarmasian di Instalsi Farmasi Rumah Sakit Grha Permata Ibu
Tahun 2016. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 7 No. 2.
Komentar
Posting Komentar